Wednesday, June 5, 2013

Bleach Chapter 539 - Prob-less, Progress

Sebelumnya : Bleach Chapter 538

Pertempuran memang sudah berakhir, keadaan memang sudah kembali damai. Ketenangan memang sudah terasa di Soul Society. Tapi, bukan berarti ancaman tidak akan kembali, bukan berarti kedamaian ini akan berlangsung untuk selamanya. Salah, peperangan tadi hanyalah sebuah ancaman bagi Soul Society, hanyalah sebuah tamparan untuk para shinigami agar mereka sadar telah berdiri musuh yang kuat di atas mereka, musuh yang telah dianggap musnah pada ratusan tahun lalu.

Hitsugaya, salah satu shinigami yang harus kehilangan Bankainya karena kegegabahannya itu, kini mulai latihan mengayunkan pedang tak bernama, mulai mengasah kemampuannya mulai dari dasar. Hisagi, sang Kyuubantai Fukutaichou juga mulai dilatih oleh sang taichou bersama dengan Kuna Mashiro, sang Super Kyuubantai Fukutaichou –Cuma sebutan Mashiro sendiri sih—untuk mengasah bankainya.



Komamura juga tak tinggal diam. Sang Sichibantai Taichou itu mencoba menemui seseorang(?), mahkluk yang sudah lama tidak dia temui, mahkluk yang sangat dia hormati, mahkluk yang mempunyai reitai yang sama seperti Komamura.

Kaki komamura berhenti di gelapnya gua yang tak mendapat terpaan secercah cahaya sedikitpun.

“Sudah lama sekali, Oojiji-sama.” Ucap sang taichou menimpali sebuah suara yang masih terdengar samar karena bergema. Kini, di depannya berbaring makhluk yang luar biasa besar, tubuhnya terlihat sangat besar, jauh lebih besar dari Komamura sendiri, taichou itu hanyalah seukuran satu kuku tajam untuk sang makhluk berbentuk anjing itu. Telinga dan mata kanannya terluka, pun begiitu, matanya masih bisa menatap dalam Komamura.

“Sajin? Berani juga kau menunjukkan wajah di depanku lagi.” Ucapannya terdengar begitu kasar, seakan dia telah bersumpah dalam hidupnya untuk tidak bertemu dengan Komamura. “Sebut apa maumu.”

Komamura terdiam agak lama, namun tubuhnya masih berdiri, seolah dia telah mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan amarah sang kakek moyangnya. Perlahan, tubuh sang taichou itu merendah, berlutuh dihadapan sang mahkluk yang maha raksasa. Walaupun sebenarnya, berdiri saja, tubuh besar Komamura sudah terlihat kecil baginya.

“Buyut, saya ke sini ingin mewarisi teknik rahasia klan.” Ucap Komamura sembari bersujud.

Mendengar hal itu, sang Oojiji-sama menajamkan pandangannya. Mulutnya langsung terluka lebar, mengaum dengan begitu kerasnya, memamerkan gigi-gigi taringnya yang terlihat begitu putih di tengahnya kegelapannya. Suaranya begitu menggelegar dalam ruangan sempit itu. Dinding gua yang terbuat dari tanah ikut bergetar pelan seakan ingin runtuh tak kuat menahan lolongan sang makhluk berkaki empat itu.

“Jangan bercanda.” Sang Oojiji-sama mulai naik pitam. “Kau, yang malu dengan penampilan klan kita, sampah yang membungkus wajahnya dan berpura-pura jadi seperti manusia. Sekarang, kau beraninya menunduk di hadapanku?”

“Seperti yang bisa dilihat,saya sudah membuang topeng itu!” Jawab Komamura tanpa melupakan merendahkan dirinya. “Beberapa dekade ini... dunia perlahan berubah. Aku bisa merasakannya, berubah menuju kemajuan. Berubah menjadi dunia di mana klan kita tak lagi perlu menyembunyikan penampilannya. Dan sekarang!-- ”

“—Dunia itu sedang dalam bahaya besar!” Tak seperti sebelumnya. Komamura kini mulai memberanikan diri. Kelancangannya mulai masuk dalam tubuhnya. Mulut yang sedari tadi dia jaga, kini mulai berteriak, seakan tak mau kalah untuk memamerkan taring-taring tajamnya
 “Konyol!!” Teriakan Oojiji-sama kali ini jauh— jauh lebih menggelegar dari dari lolongan yang sebelumnya. Entah, seakan amarah telah sampai ke ubun-ubunnya. Bahkan Komamura sempat tersentak dan langsung terdiam mematung setelah itu.

“Kau kelihatannya salah mengerti. Dunia itu tak akan pernah berakhir. Yang berubah hanyalah... yang bertanggung jawab mengurusinya. Kita juga tak akan pernah berubah.” Lanjut Oojiji-sama dengan pandangan yang sangat dalam, bola matanya yang tertutup karena memicing itu terlihat penuh dengan kebencian, penuh dengan kedustaan. Taring-taringnya terentak saat berucap karena kemarahannya. “Siapa pun yang akan mengendalikan dunia ini, kita cukup menyembunyikan diri dan terus hidup.”

“Justru maksud saya adalah, kita tak perlu seperti itu! Demi generasi masa depan kita. Kita bisa mengubah pandangan itu!” Ucapan Komamura masih terdengar begitu keras, namun tak sekeras bentakan sebelumnya.

“Tidak ada yang akan berubah. Dan tidak ada yang perlu diubah. Apa pun yang terjadi pada dunia ini, Itu bukan urusan kita.” Sang Oojiji-sama itu masih berpegang teguh pada pendiriannya.

“OOJIJI-SAMA!” Teriak Komamura sekeras-kerasnya.


Sang anjing raksasa itu tak menjawab dengan ucapan, sosok terhormat di kaumnya itu tak menjawab dengan lolongan. Lebih... lebih dari itu, anjing maha besar itu mulai bangkit dari baringnya, menghentakkan kaki depannya ke tanah di hadapan Komamura. Menciptakan angin kencang yang meghembuskan bulu-bulu halus dibalik haori sang taichou.

“Kau belum paham, Sajin?” Kini, sang Oojiji-sama itu bangkit dihadapan Komamura, seperti seekor serigala yang siap menerkam tikus sebagai santapan pencuci mulutnya. “Kubilang jangan ganggu kedamaian kita. Kalau kau bersikeras aku harus melibasmu.”

Namun, kini Komamura juga mencoba mengumpulkan semua semangatnya, mengenggam semua keberaniannya. Sang Shichibantai Taichou itu juga berdiri, mencoba menjadi seekor tikus pemberani yang berada dihadapan sang serigala lapar. “Kalau begitu, apa boleh buat!”

....

Keadaan beralih ke Divisi dua belas yang sudah mulai bangkit dari kehancuran. Tempat mereka, Departemen Penelitian dan Pengembangan sempat menjadi medan perang dan sebagian runtuh karena serangan para Quincy. Puing-puing bangunan reishi itu masih terlihat di sana, walaupun sudah mulai tertata rapi. Bangunan bawah tanah mereka, yang menjadi pusat pekerjaan mereka sepertinya masih baik-baik saja, agaknya, tempat penting ini terhindar dari jangkauan tangan para Quincy.


Akon, Sang Juunibantai Daisanseki yang sekaligus menjabat sebagai Fukutaichou di Pusat Penelitian dan Pengembangan ini sudah mulai terlihat baik-baik saja, shinigami satu ini sempat terluka karena serangan Shai Domino, salah satu Steinritter yang menembus pertahannya. Kaki Akon melangkah masuk ruangan pusat itu, mencari sosok yang yang sangat dia hormati.

“Akon-san!” Teriak salah satu peneliti perempuan menyapanya. “Kau sudah tak apa-apa?”

“Apanya. Masih sakit sekujur badan. Tapi. Bukan gayaku tidur-tiduran seharian saja.” Jawab Akon tenang, tak seperti yang dia ucapkan. “Mana taichou?”

“Uuummm..” Sambung sang perempuan dengan mata tak mengerti dibalik lensa beningnya. “Beliau mengurung diri di kamar dengan fukutaichou sejak serangan Quincy kemarin.”

“Dia belum keluar sama sekali?” Akon mulai mencurigai sesuatu. Hidup bersama dan dibawah pemerintahan Mayuri selama Ratusan tahun telah membuat Shinigami bertanduk palsu ini mengerti semua tingkah dan perbuatan sang taichounya. Kecurigaannya bertambah ketika melihat kamera-kamera yang berada di setiap sudut dalam ruangan telah dimatikan. Layar digital yang berada menunjuk ruangan itupun telah dimatikan dengan sengaja oleh seseorang.

“Iya. Ada apa?” Tanya perempuan itu setelah melihat wajah Akon yang mulai menyuratkan rasa gelisah.

“Aneh” Ucap Akon setenang yang dia bisa. Namun, perempuan sekaligus bawahannya itu masih tak mengerti apa yang terjadi di sana. “Taichou sudah mengurung diri di ruangannya lebih dari 24 jam... tapi serangga pengintainya tidak aktif. Baru kali ini begini!”

“Eh...?” Ucap Kanane kaget.

“Apa ada keadaan darurat di ruang taichou? Atau dia merusak serangga pengintainya agar kita tak bisa melihat eksperimennya? Apa pun itu, kita harus memastikannya.” Sudah menjadi sifat seorang Akon seperti itu. Tak pernah takut baginya untuk melakukan hal semacam ini. Bahkan, tak jarang dirinya sempat memberi perintah di atas kuasa sang taichounya. Pengalamannya menjadi bawahan pemimpin seorang Mayuri sudah tidak perlu diragukan lagi. Akon langsung menekan tombol, menghidupkan layar yang sedari tadi mati di depannya.

“Akon-san, itu....” Ucap sang perempuan dengan nada takut.

“Kamera yang kupasang di ruangannya.” Timpal Akon dengan ekspresi yang biasa saja.

“Bi-bisa-bisanya kau...”

“Berisik.” Ucapannya terdengar kasar, namun dia masih wajahnya tak menunjukkan seperti itu. “Lihat”

Tapi, mulut Akon langsung tak bergerak, seakan bibirnya membeku karena hawa dingin. Sayangnya, tak akan ada salju satupun yang akan masuk ruangan itu walaupun sekarang musim dingin. Apa yang dilihat oleh kedua matanyalah yang membuatnya kehabisan kata-kata. Terlihat di layar hitam depannya sang taichou didampingi oleh sang fukutaichou sedang melakukan sesuatu. Agar samar memang, namun, sedikit terlihat di atas meja di hadapan Mayuri dan Nemu terbaring seseorang, atau, entah apapun itu, yang pasti Akon tak pernah menyangka bila sang taichou telah meneliti hal itu selama ini.

“Ka... Na... Ne... De... Da...” Suara yang muncul dari layar itu sedikit terdendat-sendat... “...Si... Bergerak..”

Akon dan perempuan itu hanya bisa diam, membeku dengan mata yang tak bisa mereka alihkan dari benda persegi panjang yang berpendar di depannya. “... Apa-apaan itu...?!”
 “Apa-apaan... yang dibuat taichou itu...?!”

......

Di kediaman Keluarga bangsawan Oomaeda, keadaan di sana juga terlihat biasa-biasa saja. Seakan hawa pertempuran tak pernah sampai ke sana. Terdengar dari kejauhan dentuman kaki yang beradu dengan lantai kayu terdengar cukup keras dan cepat.

“Oniii-sama!!” Terdengar suara seorang anak perempuan cukup keras. “Di mana kau, Onii-sama...?!”

Terlihat seorang anak kecil menghampiri Marechiyoi—Oomaeda, Nibantai Fukutaichou—yang sedang bersantai di teras rumahnya. Sekilas, anak perempuan bernama Mareyo itu berbeda dengan kakaknya. Tubuhnya memang tak seperti para keluarga lainnya, seolah tak ada ikatan darah antara mereka. Namun, tetap saja perempuan itu adalah adik paling kecil Marechiyo.

“Tolol! Berisik banget sih! Gak lihat apa orang lagi mau tidur?!” Jawab Marechiyou ketus.

“Iya, maaf!” Ucap Mareyo Manja dengan senyum yang msih melekat di wajah anak perempuan berambut cokelat gelap itu. “Onii-sama, ayo main!” Tangannya menyodorkan bola pada sang kakak, Marechiyou.

“Malas.”Sang kakak lansung menjawab.

Sesaat senyum di wajah Mareyo langsung hilang, tergantikan dengan air yang menetes dari matanya. Wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Merengek di hadapan Marechiyou dengan bola masih di tangannya.

“J-jangan pasang tampang begitu, Mareyo!!” Marechiyou kaget. “Aku... cuma... lagi agak... sibuk...!”

“Ayo sini, Mareyo...” Terdengar suara lain menengahi, menghentikan rengekan Mareyo. Seorang anak laki-laki muncul, Marejirou Saburo, kakak Mareyo yang lain dan adik Marechiyou yang lain. Marejirou Saburo terlihat seperti Marechiyou, bentuk tubuhnya, gaya rambutnya, bahkan rambut mereka sama-sama hitam. Hanya saja, wajah Marejirou Saburo dihiasi oleh lensa di depan kedua matanya untuk membantu penglihatannya. Penglihatan putra Oomaeda yang satu ini memang sedikit terganggu karena hobinya yang membaca buku, di keluarga Oomeda, hanya Saburo-lah yang memakai kacamata karena penglihatannya bermasalah. “Kakak capek dari kerja. Biarkan dia istirahat. Bagaimana kalau kubacakan buku saja?”

“Gak mau, buku Saburou-oniisama menyeramkan!”

“M-menyeramkan?! Haha! Ka-kau cuma tak bisa paham kehebatan literaturku!!” Teriak Marejiro Saburou membela diri.

“Onii-sama!” Perempuan mungil ini langsung melangkah cepat. “Kalau begitu aku mau jalan-jalan dulu buat menyingkirkan Saburou-oniisama!”

“Sebentar, kau bilang 'menyingkirkan'?!”

Keduanyapun pergi meninggalkan Marechiyou yang masih terduduk di teras rumahnya. Memandangi langit cerah, pikirannya masih tertuju pada sang taichou, Sui Feng, yang sekarang masih berlatih keras setelah kehilangan bankainya.

“Taichou. Pada akhirnya kau meninggalkanku sendirian...” Gumamnya pelan tak bersemangat.

....

Sementara itu, di Reioukuu, setelah Ichigo mendapatkan sosok yang di pilih untuk menjadi asauchinya, dia diajak oleh Nimaiya, ke suatu tempat. Aneh, mereka menuruni sebuah tempat dengan meluncur di dalam pipa besar yang terhubung jauh ke dalam dasar gubuk kecil milik Nimaiya. Ketiganya mendarat –Nimaiya, Ichigo dan sang Asauchi—Nimaiya menapakkan kakinya dengan mulus di atas tanah. Namun, Ichigo dan Asauchinya tak bernasib sama, wajah Ichigo menghantam tanah terlebih dahulu, alih-alih mendarat dengan kakinya.

“Kau tak apa-apa, Ichigo-chan?” Ucap Nimaiya dengan gaya rape-nya. “Padahal sudah kubilang kalau jalan itu berbahaya, tapi kau masih mau maju duluan! Aku bisa melihat sisi kepahlawananmu, Ichigo-chan!”

“Kau yang menendangku duluan, tahu!” Protes Ichigo.

“Sama sajalah, ada yang lebih penting sekarang yo! Lihat!”

Ichigo langsung berhenti berucap, dirinya baru sadar akan dinding-dinding air yang mengelilinya tempat dirinya berdiri sekarang itu.

“Ada alasannya kenapa Istana Feniks ada di pinggir tebing yo! Kalau tak ada semua air ini, tak bisa memulihkan bankai!” Lanjut sang Royal Guard. “Dan bersiaplah Ichigo-chan, saat ini kau harus ucap sayonara pada Zangetsu!”

Bersambung ke Bleach Chapter 540

0 comments:

Post a Comment

senjunaru.inc. Powered by Blogger.